Friday 30 March 2018

Studi Kasus Cultural Resource Management dan Kesimpulannya

Gambar 1. Candi di Kompleks Percandian Muaro Jambi
(sumber: bello.id, 2016)

Terletak di Propinsi Jambi, tepatnya di Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi, situs Muarajambi terbilang sukses menerapkan teori-teori manajemen sumber daya arkeologi. Situs dari masa klasik ini memang tak banyak didengar terlebih di luar Pulau Sumatera. Dahulu, situs Muarajambi sering “disalahtempatkan” dengan situs Muara Takus yang berada di Riau. Ketika menyebut situs percandian di Propinsi Jambi maka nama Muara Takus yang akan disebutkan. Kejadian pahit semasa sekolah dasar dulu pun dialami oleh sebagian besar masyarakat Muara Jambi puluhan tahun yang lalu. Ketika ditanya candi apakah yang berada di kabupaten Batanghari –Muarajambi resmi menjadi kabupaten sejak 2003- seluruh siswa diwajibkan untuk menjawab Candi Muara Takus. Sebuah kesalahan sejarah yang dipertahankan cukup lama entah untuk kepentingan apa.

Sekarang, para ahli yang mengunjungi situs Muarajambi dibuat geleng-geleng kepala melihat apresiasi yang begitu besar dari masyarakat Muarajambi. Jarang terjadi untuk sebuah situs arkeologi. Di Muarajambi kita akan melihat betapa masyarakat, akademisi dan pemerintah menjadi karib kental.

Harmonisasi yang sekarang dinikmati merupakan perjalanan panjang dari sebuah ketekunan usaha. Bermula dari 2003 ketika pemerintah –yang berwenang untuk masalah ini adalah BP3 Jambi- mulai terjun langsung ke dalam masyarakat. Melihat dari dekat apa yang sebenarnya dirasakan dan diinginkan oleh masyarakat. Selama ini yang banyak terjadi adalah masyarakat mendapat posisi tuan rumah yang hanya menjadi penonton dalam pesta di rumahnya sendiri. Sehingga muncul banyak konflik kepentingan ketika situs arkeologi kemudian dikembangkan untuk kepentingan pariwisata yang bertujuan untuk mencari keuntungan semata.

Buah yang bagus tentu menggunakan pupuk yang baik pula. Kenyamanan yang dirasakan oleh semua pihak yang berkepentingan di Muarajambi saat ini bukanlah hasil karbitan. Kondisi sosial situs Muarajambi sebelumnya bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan kebanyakan situs arkeologi di Indonesia. Bermacam prasangka selalu hadir di benak masyarakat, akademisi dan pemerintah. Asyik dengan prasangka masing-masing menyebabkan tidak pernah ada jalan keluar untuk membuat situs Muarajambi menjadi lebih baik. Masyarakat minim apresiasi terhadap candi. Akademisi sibuk dengan dunia dan alam pikirnya. Sementara itu pemerintah belum sempat melirik ladang berlian di daerah sendiri.

Semuanya menjadi benang-benang yang kian kusut tiap harinya. Adalah BP3 Jambi pada 2003 yang kemudian gencar melakukan perubahan di situs Muarajambi. Dimotori oleh Agus Widiatmoko –salah satu staff dari BP3 Jambi- situs Muarajambi dan lingkungannya mulai dibenahi setahap demi setahap. Agus dan rekan-rekan mulai mendekati para pemuda di Muarajambi. Tampaknya bakat seni dari para pemuda Muarajambi telah lama dilirik oleh Agus. Ternyata bukan hanya bakat seni saja yang dimiliki oleh mereka. Yang terpenting adalah rasa kepedulian terhadap Situs Muarajambi. Selama ini yang menjadi permasalahan adalah kurangnya perhatian dari perangkat pemerintahan yang terkait di Situs Muarajambi terhadap masyarakat. Sehingga masyarakat beropini bahwasanya pemerintah hanya bekerja sendiri. Merespon hal itu, masyarakat Muara Jambi pun melakukan hal serupa yang dilakukan pemerintah.

Setelah sekian lama berdiri dalam sekat masing-masing akhirnya semua pihak sepakat untuk berjalan bersama membenahi situs Muarajambi. Para pemuda Desa Muarajambi kemudian memproklamirkan komunitas mereka sendiri (bergerak di bidang pelestarian candi).

Di sebuah balai sederhana mereka berlatih musik dan tari. Sekarang mereka juga mulai menciptakan souvenir khas dari Muarajambi. Mereka pun aktif menjadi guide untuk para pengunjung –baik wisman ataupun wisnus- yang datang ke Muarajambi. Beragam konsep segar muncul dari pikiran mereka dan siap untuk direalisasikan. Langkah demi langkah membuat masyarakat Muarajambi mandiri dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan situs Muarajambi. Kondisi yang sangat harmonis saat ini melahirkan sebuah prediksi bahwa ketika Situs Muarajambi ke depannya menjadi ODTW utama Propinsi Jambi, masyarakat Muarajambi tidak hanya menjadi penonton di rumah sendiri. Keberhasilan semua pihak dalam mengelola situs Muarajambi seharusnya mendapat apresiasi positif dari para pihak yang berkepentingan pada situs arkeologi di Indonesia.


KESIMPULAN
CRM tidak hanya mempersoalkan pelestarian semata, melainkan lebih dari itu merupakan upaya pengelolaan yang memperhatikan kepentingan banyak pihak. Konsep CRM dalam batasan yang luas menempatkan masyarakat sebagai bagian yang integral dalam proses pengelolaan sumber daya arkeologi. Oleh karena itu, agar berbagai kepentingan tersebut dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik, maka kinerja CRM sudah pasti akan melibatkan banyak pihak mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi. Keterlibatan berbagai pihak dalam proses pengelolaan warisan budaya tersebut, sangat penting direalisasikan karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Fakta sosial memperlihatkan, perbedaan kepentingan di antara berbagai pihak atau stakeholders ini seringkali menjadi salah satu faktor pemicu munculnya konflik pemanfaatan warisan budaya.

Memperhatikan sasaran kinerja CRM yang lebih menekankan interaksi antara warisan budaya dengan masyarakat, maka penelitian CRM lebih tepat disebut sebagai penelitian terapan. Walaupun demikian, kinerja CRM tetap dituntut untuk melakukan prosedur ilmiah. Peneliti harus mampu memilih dan menerapkan teori-teori, serta metode yang relevan dengan permasalahan. Kekeliruan dalam memilih metode dan teori akan mengakibatkan masalah tidak terselesaikan, bahkan justru akan memunculkan masalah-masalah baru. Dengan demikian, sejak awal peneliti harus menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah berkaitan langsung dengan harkat orang banyak. Pertanggungjawaban penelitian CRM tidak hanya dari segi ilmiah tetapi juga secara sosial, bahkan juga moral.

Dalam era reformasi dan otonomi daerah seperti sekarang ini, CRM memiliki peranan strategis. Melalui pendekatan partisipatoris (partisipatory research) CRM mampu menyodorkan resolusi konflik. Arkeolog perlu mengembangkan model pengelolaan berwawasan CRM, untuk menemukan kembali makna budaya dan menempatkan dalam konteks sistem sosial masyarakat sekarang.

sumber:
Christie, Betsy Edith. Cultural Resource Management. Universitas Indonesia: 2014.

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Flickr